Rabu, 15 September 2010

Dia begitu Muda… Dia berani Berbicara…

Sebut saja namanya Wandy. Dia masih begitu muda, usianya mungkin belum menginjak 30 tahun. Tapi tulisan, membuat saya termenung sejenak. Saya tidak tahu apakah dia mengadopsi dari beberapa sumber… atau tulisan ini memang murni karena pemikirannya. Saya hanya bertanya-tanya, apa yang ada di benaknya ketika menulis ini… Mungkin lebih baik, tulisannya kita baca dahulu…
Selalu saja ada celah dalam hukum (fiqh) yang menjadi ruang bagi ‘kreativitas’ dan akal bulus kaum pencinta kemudahan. Bukan karena Sang Pencipta hukum itu lemah atau lalai, sehingga menyisakan celah-celah kecil tempat bersemainya bibit kemunafikan itu, namun inilah mihnah, ujian keimanan. Dari milestone inilah kemudian manusia terbagi menjadi tiga golongan;
1. 1. penganiaya diri sendiri (dzhalimun linafsihi),
2. 2. kelompok antara (muqtashid),
3. 3. para penghulu kebaikan (sabiqun bil khairaat).
Kelompok pertama adalah para pemuja hawa nafsu. Hatinya tak setitik jua mengandung noktah ketaatan, logikanya adalah logika pembangkangan, strateginya adalah keculasan. Maka aturan langit pun menjadi sesuatu yang dianggap profan sehingga dengan mudahnya diputarbalikkan. Lihatlah para budak syahwat ini berdalil dengan fasihnya bahwa menutup aurat adalah setakat budaya, bahwa tak mengapa berzina asal menggunakan kondom hingga tak bersentuhan kulit khatan, atau soal halalnya alkohol di suasana chilly. Mereka juga yang berargumen betapa mengharamkan rokok adalah gerbang kehancuran ekonomi bangsa. Lupakah mereka bahwa kerugian bangsa ini oleh erosi kesehatan yang diakibatkan benda haram sembilan senti itu bisa berpuluh kali lipat nominalnya? Orang-orang ini, entah dari persilangan genetik yang mana, telah mewarisi darah Yahudi yang dahulu mencoba mengakali Allah tentang larangan hari Sabat, dengan memasang jaring keramba di hari Jum’at. Inilah kelompok penganiaya diri, menukarkan kesenangan sesaat dengan siksaan yang abadi.
Kelompok kedua adalah generasi serba tanggung, shalih tidak, thalih juga tidak. Sesekali mereka berbuat dosa dan menabrak aturan, sesaat kemudian tertegun, lalu menangis menyesali perbuatannya. Inilah tipologi kaum lemah iman, yang memadu pahala dan dosa dalam satu rongga dada. Seusai shalat shubuh mereka menonton tayangan ghibah, mereka berjilbab tapi ikhtilath, berjanggut namun genit, lantang bertakbir namun fasih pula berlama-lama dalam interaksi tak penting dengan lawan jenis yang ajnabi.Sungguh tersiksa batin yang hidup dalam kondisi demikian. Jiwa yang terus menerus dalam penyesalan (nafsu allawwaamah), terjebak antara perasaan hina dan keinginan menjadi mulia. Pribadi-pribadi seperti ini senantiasa terkungkung dan terpenjara dalam dimensi dirinya sendiri. Tak usahlah diajak berpikir dan bercita-cita besar, toh mereka masih belum selesai berurusan dengan aneka persoalan remeh-temeh; virus merah jambu, jiwa pedantic (hubbu azhzhuhur) yang selalu ingin menonjolkan diri, dan berbagai perangai lainnya yang merefleksikan kekanak-kanakan jiwa.
Kelompok terakhir adalah mereka yang selalu berlomba dalam kebaikan. Mereka tak lagi berfikir sebatas halal-haram. Bagi kaum ini, segala sesuatu dinilai dengan kelembutan hati dan kepekaan iman. Mereka terbang dalam ketinggian akhlaq, jauh melewati batas-batas hukum, beyond fiqh. Yang haram pastilah mereka benci, perkara syubhat dijauhi, bahkan terhadap yang halal pun mereka berzuhud. Suatu ketika Umar ibn Khatthab ra membagi-bagikan ghanimah atas kemenangan melawan Persia. Umar tertarik pada sebuah karpet yang sungguh indah. Betapa wajar dan sederhananya potret keinginan itu; seorang khalifah agung berkehendak untuk memiliki sepotong permadani. Tak satu pun sahabat yang tidak setuju, selain bahwa bagian dari ghanimah juga merupakan hak beliau, Umar juga dipandang sebagai zahid yang terlalu keras terhadap dirinya sendiri. Namun seketika Al-Faruq tersentak. Pria yang ditakuti para setan ini merasa malu untuk memiliki ketertarikan semu pada dunia. Ia memang bukan al-ma’shum layaknya Rasulullah SAW, tapi tarbiyah Sang Nabi telah melekat erat di sanubarinya. Lalu ia memotong karpet itu menjadi bagian-bagian kecil dan membagi-baginya kepada para sahabat (Husain Haykal, Umar al-Faruq). Permadani Persia itu sudah tak utuh lagi, begitu juga keinginan Umar untuk memilikinya juga telah teratasi. Kini Umar tak lagi merasa malu pada Allah, pada Rasul dan pada dirinya sendiri. Ya, bagi jiwa pendamba surga, rasa malu memang menjadi hiasan diri. Sebab sabda Sang Nabi SAW; “Sesungguhnya di antara yang didapat manusia dari kalimat pertama kenabian adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu” (HR Bukhari, lihat dalam Ibn Daqieqil ‘Ied, Syarhul Arba’iina Hadiitsan An-Nawawiyah).
Bagaimana…?
Tiga golongan itu saya yakini kebenarannya. Salah satu upaya, untuk dapat menghisab diri sebelum dihisab nanti. Dengan kejujuran hati untuk bisa mengakui, ada di golongan mana kita sekarang.
Tapi ada beberapa hal lain yang menggugah hati saya… Pertama, seusianya, saya belum mempunyai keinginan untuk menghisab diri dengan kedalaman seperti itu. Kedua, melalui tulisannya dia sanggup menyuarakan apa yang ada di benaknya dengan cukup berani. Ketiga, harapan saya… tulisan itu dilandasi motivasi untuk ‘fastabiqunal khairaat’… berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan untuk menjustifikasi secara personal. Keempat, semoga ketika ditanyakan kepada dirinya… di golongan manakah dia berada? Dia bisa menjawabannya…
Karena pada dasarnya, kita semua mempunyai fitrah untuk berbuat kebaikan, ingin memberikan yang terbaik, sebagai bentuk eksistensi kita di dunia ini, untuk kemudian kita serahkan penilaian terakhirnya di kekuasaan Sang Pencipta.
Tidak semua orang menyukai dakwah dengan argumentasi yang cukup keras. Tapi hampir semua orang menyukai dakwah yang menenangkan, dengan bahasa kelembutan… Tanpa ada kesan merasa paling suci, tapi mengajak… untuk bersama-sama… menggapai cinta Illahi, dalam balutan keindahan bahasa…

Sabtu, 04 September 2010

Syariah Islam Pembawa Rahmat

ALLAH SWT menurunkan syariat Islam melalui Rasulullah saw sebagai rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam/makhluk). Kehadiran Rasulullah Saw ke atas dunia dengan membawa wahyu Allah SWT, tutur kata dan tingkah lakunya sebagai hukum dan suri tauladan bagi seluruh umat manusia. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya [21]: 107)

Selain itu, kesempurnaan dan cakupan Dinul Islam, yang tidak memberi peluang satu perkara pun lolos dari pandangannya, menunjukkan keagungan dan kehebatan syariat Islam yang tidak dimiliki oleh sistem hukum manapun yang ada di seluruh dunia. Firman Allah SWT: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An-Nahl [16]: 89)

Berdasarkan hal ini, maka seorang Muslim tidak layak berpaling dan beralih kepada sistem hukum lain. Apalagi jika sistem hukum tersebut merupakan produk buatan manusia yang sarat dengan keterbatasan, kelemahan dan kepentingan. Jika Allah SWT telah memberikan kepada kita Dinul Islam yang sempurna, sistem, hukum yang adil dan cakupannya menyeluruh, mengapa sebagian besar kaum muslimin malah berpaling dari syariat Allah SWT yang sempurna dan agung? Padahal jelas-jelas Allah berfirman: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan (hukum), akan ada bagi mereka pilihan (hukum) yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al-Ahzab [33]: 36)

Oleh karena itu, siapapun orangnya, apapun jabatannya, selama ia seorang mukmin, yakin kepada kebenaran dan kesempurnaan hukum Allah SWT, wajib menerapkan dan mengikuti sistem hukum yang telah Allah SWT putuskan. Dimanapun tempat tinggalnya, kaum muslimin wajib menerapkan dan mengikuti sistem hukum Islam, dan dilarang untuk berpaling serta mengikuti hawa nafsu mereka dengan mengikuti sistem hukum lain. Firman Allah SWT: “Maka, putuskanlah perkara atas mereka menurut apa yang Allah turunkan (Alquran) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (hukum Allah) yang telah datang kepadamu.” (QS Al-Maidah [5]: 48)

Di dalam kitab Mukhtashar tafsir Alquran karya Imam Al Qasimi, tatkala menafsirkan kata –fahkum bainahum bimaa anzala Allah- bermakna diterapkan di tengah-tengah Ahlu Kitab jika mereka merujuk kepadamu (Muhammad). Imam Nasafi berkata: “Allah SWT mengingatkan tentang diturunkannya Taurat kepada Musa as, kemudian diturunkannya Injil kepada Isa as, setelah itu diturunkannya Alquran kepada Muhammad Saw, dan hal itu bukan sekedar untuk didengar saja, melainkan untuk diterapkan.” (lihat Mukhtashar min mahaasini at takwil, kar. Al Qasimi, hal.116)

Dengan demikian, apabila ada yang mengatakan bahwa penerapan syariat Islam hanya berlaku bagi kaum muslimin saja, tidak untuk non muslim? Bukankah di dalam syariat Islam terdapat hukum-hukum Jizyah, hukum tentang akad Dzimmah (atas masyarakat non muslim), hukum tentang perkawinan (yang mencakup wanita Ahlu Kitab), yang ditujukan bagi orang-orang non muslim. Dan bukankah di dalam Negara Islam yang didirikan oleh Rasulullah terdapat watsiqah Madinah (piagam Madinah) berupa hukum-hukum Islam yang bersifat umum, yang diterapkan dan diikuti oleh seluruh masyarakat, baik mereka Muslim maupun non Muslim?

Meskipun demikian dalam perkara ubudiyah dan hukum-hukum pernikahan, kematian, dan sejenisnya, diberikan kepada rakyat non muslim untuk menjalankan perkara-perkara tersebut sesuai dengan ajaran agama mereka.

Allah SWT berfirman: “Apakah (sistem) hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (sistem hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (sistem hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS Al-Maidah [5]: 50)

Dinul Islam mengandung aqidah dan syariat, tersusun dari fikrah (ide, hukum) dan thariqah (metoda penerapan ide/hukum). Islam bukanlah filsafat, apalagi sekedar ajaran-ajaran moral atau etika. Dinul Islam juga adalah Dinul 'Amaliy, (ajaran-ajaran agama/hukum yang bersifat praktis). Pendek kata Dinul Islam itu adalah mabda (prinsip/ideologi) yang di dalamnya terdapat fikrah-fikrah dan thariqah.

Penerapan syariat Islam bisa mencegah kerusakan maupun berbagai pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh masyarakat. Bahkan untuk beberapa perkara tertentu yang menyangkut eksistensi manusia, eksistensi akal, eksistensi kehormatan, harta, agama, stabilitas politik Daulah Islamiyah, Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum hudud, yang berlaku apa adanya sebagaimana teks nash-nash Alquran maupun Assunnah. Seluruh perkara tersebut telah ditetapkan secara qath'iy d di dalam nash. Dan di dalam perkara hukum hudud tidak ada ijtihad. Sebab Allah-lah yang telah menetapkan bentuk hukumannya, bukan manusia.

Allah SWT Maha Mengetahui dan Maha Adil. Allah Mengetahui mana yang benar dan salah, apa yang baik dan apa yang tidak baik, mana yang menghasilkan maslahat, mana yang membawa mudharat. Hukum Allah bersifat abadi, cocok untuk diterapkan pada setiap zaman dan tempat. Sebab Dialah yang menciptakan seluruh manusia, Dialah yang Maha Mengetahui tabiat manusia.

Dengan demikian, sejak kapan manusia yang diciptakan, Allah yang mempunyai banyak kelemahan, lebih mengetahui dari pada Allah SWT sendiri? Dan atas dasar apa kita mengatakan bahwa hukum potong tangan, hukum cambuk, hukum rajam, hukum qishash sudah tidak layak untuk diterapkan pada masa kini. Bukankah hukum Allah itu benar dan persepsi manusia itu relatif, berubah-ubah dan lebih banyak kekeliruannya? Lalu mengapa kita enggan menjadikan syariat Islam yang berasal dari langit berada diatas segalanya, dan wajib seluruh peraturan yang ada di dunia tunduk dan mengikuti syariat Al-Khaliq?

Allah SWT berfirman : “Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain ? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tiada lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS Al Baqarah [2]: 85).***